Ketegangan yang meningkat di wilayah selatan Suriah menunjukkan pola khas intervensi tidak langsung yang belakangan ini semakin sering digunakan oleh Israel melalui tangan-tangan lokal. Salah satu contoh paling menonjol adalah kemunculan milisi Al Hajri, kelompok kecil dari komunitas Druze yang belakangan diketahui menjadi alat permainan intelijen asing untuk mengacaukan stabilitas internal negara tersebut. Meski tidak merepresentasikan suara mayoritas Druze, milisi ini telah memainkan peran strategis dalam mengeksekusi skenario kekacauan yang dituding sebagai rancangan Mossad.
Tujuan utama dari operasi ini tampaknya bukan untuk memenangkan wilayah secara militer, melainkan untuk merusak jalinan sosial antarkelompok di dalam Suriah. Milisi Al Hajri diduga kuat telah melancarkan aksi penculikan dan perampokan terhadap warga Arab Badui yang tinggal di sekitar Sweida. Tindakan tersebut sengaja dirancang agar memicu kemarahan dan pembalasan, sehingga menciptakan ketegangan etnis yang selama ini mampu diredam oleh pemerintah Suriah.
Yang paling berbahaya bukan sekadar aksi militer kecil mereka, tetapi bagaimana narasi konflik dibentuk dan disebarluaskan. Dengan memviralkan video pembantaian terhadap warga Arab Badui serta pengusiran brutal dari sekitar perkampungan Sweida, milisi ini telah menyusupkan opini negatif terhadap seluruh komunitas Druze. Padahal, sebagian besar warga Druze tidak terlibat dan bahkan menolak tindakan ekstremis seperti itu. Namun persepsi telah berubah, dan inilah yang diinginkan oleh para perancang operasi.
Dampak dari narasi yang digiring dengan cermat ini adalah munculnya rasa curiga yang makin dalam antara komunitas Druze dan Arab Badui. Hubungan yang dulu saling toleran kini dirundung prasangka dan kecemasan. Modus ini bukan hal baru dalam strategi Israel yang kerap menggunakan aktor lokal untuk menciptakan kesan bahwa konflik berasal dari dalam, padahal ia direkayasa dari luar.
Yang membuat situasi makin rumit adalah apa yang diklaim Tel Aviv sebagai 'permintaan bantuan' milisi Al Hajri kepada Israel untuk melakukan serangan udara ke Damaskus. Serangan tersebut tidak hanya mempermalukan posisi pemerintah Suriah sebagai pemegang kendali atas ibu kota, tetapi juga menjadi pesan simbolik bahwa kedaulatan Damaskus dan semua ibukota negara Arab dapat dilecehkan kapan pun oleh tangan asing dan antek-anteknya. Ini merupakan penghinaan terbuka terhadap integritas Suriah.
Serangan udara Israel yang dilakukan pasca permintaan tersebut makin memperjelas bahwa koordinasi antara milisi lokal dan kekuatan asing memang nyata. Ini bukan semata reaksi sepihak dari Tel Aviv, melainkan bagian dari operasi besar untuk menampilkan Suriah sebagai negara lemah yang gagal mengendalikan wilayah dan rakyatnya. Bagi Israel, semakin hancur jaringan sosial dan otoritas pemerintah Suriah, semakin aman posisinya di perbatasan.
Kampanye ujaran kebencian juga menjadi alat utama dalam operasi ini. Melalui akun-akun palsu dan penyebar provokasi di media sosial, narasi-narasi penghinaan terhadap Nabi Muhammad SAW dan simbol-simbol Islam sengaja disebarkan untuk menyulut kemarahan umat. Tujuannya bukan hanya menciptakan kericuhan, tetapi juga agar respons yang muncul dari rakyat Suriah dapat digambarkan sebagai kebrutalan sektarian.
Mossad diyakini berada di balik pola operasi semacam ini, bukan saja melalui pendanaan dan pelatihan, tetapi juga dalam perancangan narasi dan distribusi konten provokatif. Mereka memahami bahwa medan perang utama saat ini bukan lagi ladang ranjau atau udara, melainkan media sosial dan opini publik. Dan ketika masyarakat terbelah, negara menjadi lumpuh.
Sementara sebagian warga masih memelihara optimisme akan kesatuan bangsa, tanda-tanda perpecahan telah mulai tampak di lapangan. Suriah yang dulu dikenal multikultural kini digiring untuk mencurigai keragaman itu sebagai kelemahan, bukan kekuatan. Jika tidak ditangani dengan tepat, ini dapat menjadi titik awal keruntuhan dari dalam.
Pemerintah Suriah dituntut untuk lebih waspada terhadap pola-pola operasi semacam ini. Respon militer semata tidak cukup, karena yang dihadapi bukan pasukan konvensional, melainkan perang psikologis dan sosial yang tak kasatmata. Perlu ada pendekatan menyeluruh, baik dari sisi keamanan siber, rekonsiliasi sosial, hingga penyadaran publik agar tidak mudah terprovokasi.
Lebih dari sekadar mengamankan perbatasan, tantangan terbesar Suriah kini adalah mengamankan kesadaran kolektif rakyatnya dari perang informasi dan rekayasa narasi. Dalam perang semacam ini, kebenaran pun bisa dikaburkan, dan musuh bisa menyamar menjadi tetangga sendiri. Inilah yang tengah dimainkan oleh Israel melalui proxy seperti milisi Al Hajri.
Pengamat menilai bahwa tujuan akhir dari strategi ini adalah membuat Suriah terperangkap dalam konflik internal yang berkepanjangan, sehingga tidak lagi punya kekuatan untuk berperan di level kawasan. Ketika Suriah sibuk dengan konflik horizontal, Israel bisa bebas bergerak dan memperluas pengaruhnya di wilayah perbatasan tanpa perlawanan berarti.
Langkah-langkah penanggulangan harus mencakup kontrol narasi di media sosial serta pendekatan kemanusiaan terhadap kelompok-kelompok yang mulai termakan hasutan. Pemerintah perlu menjangkau komunitas Druze dan Arab Badui secara langsung untuk meredam ketegangan sebelum meluas menjadi konflik horizontal yang sulit dihentikan.
Kerja sama regional juga perlu dihidupkan kembali. Negara-negara tetangga yang selama ini bersikap pasif perlu diingatkan bahwa destabilitas Suriah akan membawa dampak ke seluruh kawasan. Jika Suriah goyah, maka gelombang instabilitas itu akan menular ke Lebanon, Irak, dan bahkan Yordania.
Israel tentu tidak akan berhenti pada satu provokasi. Selama Mossad masih bisa mengoperasikan jaringan lokal di Suriah, maka ancaman semacam ini akan terus berulang. Oleh karena itu, pemberantasan agen-agen lokal dan infiltrasi jaringan intelijen asing menjadi tugas mendesak bagi aparat keamanan Suriah.
Namun di atas semua itu, kekuatan terbesar Suriah tetap berada di tangan rakyatnya. Selama rakyat menolak untuk dipecah belah, dan memilih untuk mempertahankan persatuan, maka setiap skenario asing akan gagal. Inilah titik harapan yang masih menyala, meski di tengah gempuran konflik dan pengkhianatan.
Pemerintah Suriah pun harus terus memperkuat peran komunitas dan tokoh agama lokal untuk menjadi jembatan dialog di tengah masyarakat. Jangan sampai luka yang sengaja dibuat oleh Israel berubah menjadi perpecahan permanen yang diwariskan ke generasi berikutnya.
Kini saatnya Suriah tak hanya bertahan, tapi bangkit melawan perang hibrida yang dilancarkan terhadapnya. Memahami modus operandi musuh adalah langkah awal untuk menang. Dan jika Suriah mampu membaca permainan ini, maka agenda Israel akan kembali gagal seperti sebelumnya.
Tidak ada komentar
Posting Komentar