Dunia politik Suriah kembali menjadi sorotan setelah terungkap adanya mantan pejabat penting rezim Bashar al-Assad yang sedang diburu karena keterlibatan pembantaian di masa lalu kini bergabung dalam struktur pemerintahan paralel yang dibentuk salah satu pemimpin Druze pro Israel di Suwayda.
Perkembangan ini menimbulkan perdebatan sengit, baik di kalangan pendukung maupun penentang pemerintah Damaskus. Tidak semua orang Druze pro Israel dan pendukung Al Hajri.
Pusat perhatian tertuju pada Hikmat al-Hijri, tokoh Druze yang mendirikan kabinet sendiri yang disebut Komite Hukum Tertinggi, yang menjadi 'pemerintahan paralel' di wilayah yang dikuasainya dengan dukungan Israel. Komite ini belakangan menjadi simbol perlawanan di beberapa wilayah, terutama setelah al-Hijri mengambil sikap terbuka menentang pemerintah pusat yang kini dipimpin Presiden Ahmed Al Sharaa.
Padahal, catatan menunjukkan bahwa al-Hijri bukanlah figur yang sejak awal berada di kubu oposisi. Ia sebelumnya mendukung rezim Assad, sebelum kemudian berbalik arah pada 2021 akibat perselisihan dengan seorang jenderal tentara Suriah.
Keputusan berbalik haluan itu dipandang sebagai titik balik besar, karena al-Hijri memiliki pengaruh luas di komunitas Druze dan hubungan politik yang panjang. Namun, arah baru yang ditempuhnya ternyata turut membawa warna baru pada komposisi kepemimpinan komite.
Salah satu nama yang menonjol adalah Shakeeb Ajud Nasr. Ia diangkat oleh Komite Hukum Tertinggi untuk memimpin urusan keamanan internal ekuivalen 'Menteri Dalam Negeri', posisi strategis yang menentukan arah dan daya tahan kelompok tersebut.
Namun, profil Nasr bukanlah hal yang bisa diabaikan begitu saja. Ia adalah mantan kepala Cabang Keamanan Politik di Tartus, sebuah jabatan sensitif yang dijalankannya di bawah komando rezim Assad dan sedang diburu akibat keterlibatan pelanggaran HAM berat
Jabatan itu membuat Nasr pernah berada di jantung aparat keamanan Suriah yang dikenal dengan tangan besinya dalam menekan oposisi. Laporan dari kelompok HAM menuduhnya terlibat dalam pelanggaran hak asasi manusia selama masa jabatannya.
Keterlibatan tokoh seperti Nasr memunculkan pertanyaan besar di kalangan oposisi sendiri. Bagaimana mungkin seorang yang pernah menjadi bagian dari sistem keamanan Assad kini dipercaya mengamankan perlawanan terhadap Damaskus?
Sebagian pengamat menilai masuknya Nasr menunjukkan 'kabinet Al Hajri' yang bermain di dalam proyek neo kolonialisme Greater Israel hanya tempat 'persembunyian' pelanggar HAM era Assad, kelompok sakit hati atas perubahan politik.
Namun, kelompok HAM internasional memperingatkan risiko infiltrasi dan pengkhianatan. Mereka mengingatkan bahwa sejarah Suriah sarat dengan contoh oposisi yang dilemahkan dari dalam melalui agen-agen lama rezim lama.
Hikmat al-Hijri sendiri belum memberikan komentar mendetail terkait tuduhan tersebut. Dalam pernyataannya, ia hanya menegaskan bahwa struktur komitenya terdiri dari “orang-orang yang mampu menjalankan tugas dengan baik.”
Bagi pendukung al-Hijri, keputusan itu adalah strategi realistis di tengah keterbatasan sumber daya manusia. Mereka menilai pengalaman Nasr di bidang keamanan justru menjadi modal penting untuk menghadapi ancaman eksternal. Kabinet yang dibentuk itu sebenarnya hanya selevel 'ormas kedaerahan' namun karena memiliki militer dengan kelengkapan senjata dan penguasaan wilayah, dapat disebut sebagai pemerintahan tandingan de facto.
Di sisi lain, bagi sebagian pihak, keputusan ini ibarat membuka pintu bagi “serigala masuk kandang.” Mereka meragukan loyalitas mantan pejabat tinggi rezim yang kini berada di lingkaran inti oposisi.
Dinamika ini membuat peta konflik Suriah semakin rumit. Tidak hanya terbelah antara pro dan anti-Assad, kini juga ada gesekan internal dalam barisan oposisi itu sendiri.
Keberadaan figur-figur eks rezim di kubu perlawanan memunculkan narasi bahwa garis pembatas antara musuh dan kawan kian kabur. Politik di Suriah, tampaknya, lebih banyak diwarnai oleh kepentingan taktis ketimbang ideologi murni.
Pengamat menilai fenomena ini akan memengaruhi kredibilitas oposisi di mata rakyat Suriah. Masyarakat yang pernah menjadi korban aparat keamanan mungkin sulit menerima bahwa bekas pejabat aparat kini menjadi bagian dari “pembebasan.”
Bahkan, ada yang khawatir bahwa langkah ini akan dimanfaatkan eks pejabat rezim Assad untuk cuci tangan dalari sejarah masa lalu dengan dukungan Israel.
Meski demikian, dalam politik Suriah yang penuh intrik, tidak jarang musuh lama bersekutu sementara demi tujuan jangka pendek. Pertanyaannya, apakah al-Hijri dan timnya mampu mengendalikan risiko dari langkah ini?
Konflik Suriah sendiri belum menunjukkan tanda-tanda mereda. Dalam kondisi seperti ini, setiap keputusan politik—termasuk memilih sekutu dari masa lalu—bisa menjadi penentu arah perjuangan.
Kini, mata publik internasional tertuju pada bagaimana “kabinet” al-Hijri akan mengelola keseimbangan rapuh ini. Keberhasilan atau kegagalan mereka bisa menjadi cerminan masa depan oposisi Suriah di tengah bayang-bayang masa lalu yang belum sepenuhnya sirna.
Tidak ada komentar
Posting Komentar