Mobilisasi Suku Lawan SDF, Suriah Kian Membara

Share:

Konflik di timur laut Suriah kembali memanas setelah para syekh suku di kawasan tersebut secara resmi mengumumkan mobilisasi umum.

Deklarasi ini bertujuan untuk melawan Pasukan Demokratik Suriah (SDF), yang selama ini menguasai sebagian besar wilayah tersebut. Gerakan ini dipandang sebagai respons terhadap pelanggaran dan ketidakpuasan yang telah lama dirasakan oleh penduduk suku-suku lokal.

Sheikh Faraj Al-Hamoud Al-Salama, seorang tokoh terkemuka dari suku Al-Nasser Al-Bu Sha'ban, menjadi salah satu yang pertama menyerukan mobilisasi ini.

Dalam pernyataannya, ia mendesak syekh-syekh lain dari suku Al-Bu Sha'ban untuk bersatu dan mengirimkan dukungan. Hal ini menunjukkan keseriusan gerakan yang tidak hanya terbatas pada satu suku, tetapi juga berupaya membangun koalisi yang lebih luas.

Pengumuman ini datang setelah Dewan Suku dan Klan Suriah juga mengutuk pertemuan yang diadakan oleh SDF, yang mereka anggap sebagai upaya untuk memecah belah persatuan Suriah. Dewan tersebut menegaskan bahwa setiap usaha untuk mengganggu keutuhan negara akan gagal karena kesadaran politik rakyat Suriah yang semakin matang. Ini menunjukkan adanya kerangka politik yang mendasari gerakan bersenjata tersebut.

Menurut para pemimpin suku, mobilisasi ini bukanlah sekadar seruan untuk berperang, melainkan langkah untuk memulihkan keamanan dan stabilitas di wilayah yang telah lama dirundung masalah. Mereka mengklaim bahwa tujuan utamanya adalah membebaskan rakyat dari kondisi kemiskinan, kelaparan, dan terorisme yang mereka alami di bawah kendali SDF. Ini menjadi narasi kuat yang mereka gunakan untuk menggalang dukungan dari masyarakat umum.

Namun, di balik narasi tersebut, terdapat tuntutan yang lebih mendalam dan fundamental, yakni pengembalian hak ulayat. Suku-suku ini merasa hak-hak adat mereka telah diabaikan dan otoritas mereka dalam mengelola tanah dan sumber daya lokal telah direnggut oleh SDF yang didomonasi Kurdi secara jumlah populasi Arab selebih banyak. Mereka mendesak agar otonomi dan hak tradisional mereka diakui dan dikembalikan sepenuhnya. Apalagi diperkirakan 75 ribu anak-anak muda Arab kini mendekam di penjara SDF atas tuduhan yang dibuat-buat. Beberapa minggu lalu sebuah milisi Druze Al Hajri juga melakukan pembersihan etnis Arab Badui untuk menjadikan Provinsi Suwayda hanya untuk Druze 

Tuntutan hak ulayat ini mencakup berbagai aspek, mulai dari kontrol atas sumber daya alam hingga penerapan hukum adat dalam pemerintahan lokal. Suku-suku ini ingin memiliki suara yang lebih besar dalam pengambilan keputusan yang memengaruhi kehidupan mereka sehari-hari. Mereka berpendapat bahwa hanya dengan mengembalikan hak-hak ini, stabilitas jangka panjang dapat tercapai.

Permasalahan semakin rumit dengan adanya fakta bahwa tidak semua suku Arab menentang SDF. Sebagian kecil suku Arab justru memilih untuk beraliansi dengan SDF, entah karena alasan politik, ekonomi, atau jaminan keamanan.

Kelompok-kelompok suku ini memandang SDF sebagai pelindung dari ancaman lain di kawasan tersebut dan menganggap mobilisasi umum sebagai langkah yang gegabah.

Perbedaan sikap ini memicu kekhawatiran akan terjadinya bentrokan internal yang brutal antar suku. Potensi konflik ini bisa lebih berbahaya daripada bentrokan dengan SDF, karena melibatkan ikatan kekerabatan yang retak dan sentimen historis yang mendalam. Konflik antar suku Arab pro-SDF dan anti-SDF bisa menciptakan perpecahan yang sulit disembuhkan.

Situasi yang rumit ini menempatkan SDF di posisi yang sulit. SDF melihat mobilisasi ini sebagai ancaman serius terhadap otoritas mereka dan keamanan wilayah yang telah mereka bangun. Mereka tidak bisa mengabaikan seruan mobilisasi yang semakin meluas ini, yang berpotensi memicu gelombang pemberontakan di seluruh wilayah kekuasaan mereka.

SDF kemungkinan besar akan menafsirkan gerakan ini bukan sebagai pemberontakan kecil, tetapi sebagai konspirasi yang lebih besar yang didukung oleh pihak-pihak lain, seperti Turki dan Pemerintah Suriah.

Penafsiran ini dapat memicu respons militer yang lebih keras dan agresif dari SDF, yang bisa mengubah lanskap konflik secara drastis.

Respons SDF bisa jadi berupa pengerahan pasukan tambahan untuk menumpas gerakan mobilisasi di wilayah-wilayah kunci. Mereka mungkin akan melakukan operasi militer yang bertujuan untuk mengamankan infrastruktur vital dan markas-markas strategis, serta menahan para pemimpin suku yang dianggap sebagai provokator. Langkah ini berisiko besar meningkatkan ketegangan dan memperburuk krisis kemanusiaan.

Skenario terburuk adalah SDF malah memanfaatkan situasi ini sebagai alasan untuk memperluas wilayah kekuasaannya.

SDF bisa saja mengklaim bahwa mobilisasi suku tersebut adalah ancaman eksistensial yang memaksa mereka untuk melakukan intervensi militer di wilayah-wilayah yang sebelumnya masih netral. Langkah ini akan dilihat sebagai perluasan agresif yang bisa memicu respons dari kekuatan regional lainnya.

Strategi perluasan wilayah ini bisa dilakukan dengan menguasai kota-kota dan desa-desa yang menjadi basis kuat suku-suku anti-SDF. Mereka mungkin akan menggunakan kekuatan militer superior untuk menduduki wilayah tersebut dan menegakkan kontrol mereka secara paksa. Hal ini akan semakin mengalienasi populasi lokal dan memperdalam rasa kebencian terhadap SDF.

Di sisi lain, SDF juga bisa menggunakan taktik lain, seperti memperkuat hubungan dengan suku-suku Arab yang pro-mereka. Mereka akan memberikan hak istimewa atau kekuasaan lokal kepada suku-suku ini, berharap bisa menciptakan aliansi yang kuat untuk melawan mobilisasi umum. Strategi "pecah belah dan kuasai" ini bisa saja berhasil, tetapi juga berisiko memicu konflik internal yang lebih parah.

Pemerintah Suriah, yang selama ini mengamati dari jauh, juga bisa melihat ini sebagai peluang untuk kembali mendapatkan pijakan di wilayah timur laut.

Mereka bisa menawarkan dukungan kepada suku-suku yang memberontak terhadap SDF, dengan harapan bisa melemahkan posisi SDF dan mengembalikan kendali pemerintah atas wilayah tersebut. Ini akan menambah lapisan kerumitan pada konflik yang sudah ada.

Sementara itu, Turki, yang menganggap SDF sebagai ancaman keamanan nasional, kemungkinan besar akan memberikan dukungan moral dan bahkan logistik kepada suku-suku yang memberontak. Turki akan memandang mobilisasi ini sebagai kesempatan emas untuk menekan SDF yang condong ke Israel dan mengamankan perbatasannya.

Wawancara dengan Sheikh Mudher Hammad al-Asaad, kepala Dewan Tertinggi Klan Suriah, menunjukkan bahwa mereka mengklaim SDF mencoba memecah belah Suriah. Al-Asaad menyatakan bahwa tujuan mobilisasi bukan untuk perang, tetapi untuk memulihkan keamanan dan membebaskan rakyat dari kesengsaraan.

Namun, dengan situasi yang semakin memanas, sulit untuk meyakini bahwa bentrokan bersenjata dapat dihindari.

Kini, Suriah timur laut berada di ambang eskalasi konflik yang lebih besar. Deklarasi mobilisasi umum oleh para syekh suku telah membuka kotak Pandora yang berisi tuntutan politik, budaya, dan militer yang saling tumpang tindih. Konflik ini tidak hanya melibatkan SDF dan suku-suku Arab, tetapi juga potensi bentrokan antar suku sendiri dan intervensi dari kekuatan-kekuatan regional.

Masa depan wilayah ini sangat tidak pasti. Pilihan yang diambil oleh SDF dalam beberapa hari dan minggu mendatang akan menentukan apakah mobilisasi ini akan menjadi pemberontakan yang berhasil, atau malah memicu konflik yang lebih brutal dan memperluas kendali SDF atas wilayah tersebut. Pilihan ini akan memengaruhi kehidupan jutaan orang dan menentukan nasib persatuan Suriah.

Situasi saat ini menunjukkan bahwa meskipun perang saudara di Suriah telah berlangsung lama, akar-akar ketidakstabilan masih sangat dalam.

Masalah hak ulayat, otonomi, dan representasi politik yang adil terus menjadi pemicu konflik yang siap meletus kapan saja. Mobilisasi suku ini hanyalah manifestasi terbaru dari ketidakpuasan yang mendalam, yang berpotensi menyeret wilayah tersebut ke dalam pusaran kekerasan yang baru.


Tidak ada komentar